Rabu, 10 April 2019

Father, Mother and Child

Ketika di Al Quran Allah berfirman bahwasanya ~ orang baik untuk orang baik, yang buruk untuk orang yang buruk. Aku teringat kembali bahwa di sekitar kita ada orang yang baik namun tidak bersama orang yang baik. Entah definisi baik yang pantas untuk masing-masing pribadi satu sama lain, sehingga di mata kita, kita merasa dia baik, tapi istri/suaminya kok gitu?

Mengapa? Tentu inilah pertanyaan yang muncul di benak kita. Entah itu sebuah ujian atau kita saja yang selalu menutup mata untuk melihat sisi positif Si Dia. Namun ketika kita flashback ke kisah-kisah hikmah yang menjadi panutan bagi kita, ternyata ada seorang nabi yang istrinya durhaka padanya. Bayangkan seorang nabi. Nabi yang jelas kebaikannya, jelas posisinya di sisi Allah memiliki istri yang durhaka, jahat, bahkan menjadi penghianat. Sebut saja Nabi Nuh.

Betapa beratnya hidup Nabi Nuh demi menjadi teladan manusia sesudahnya. Seorang nabi yang memiliki usia paling panjang, dan paling panjang pula waktu dia berdakwah. Namun umat yang mengikutinya tidak sebanding dengan lamanya dia berdakwah, ditambah istrinya yang durhaka padanya. Istrinya sendiri tidak percaya padanya, tidak mau mengikuti ajarannya. Lebih memilukan lagi, anaknya Kan'an juga mengikuti jejak ibunya. Bayangkan jika Anda menjadi seorang ayah, yang pada fitrahnya menyayangi anak-anaknya. Ketika Anda menawarkan pertolongan pada anak Anda sendiri disaat ada bencana alam, namun anak tidak mau Anda tolong. Bayangkan betapa pilu hati nabi Nuh tatkala tahu sebenci itukah anaknya padanya karena apa yang dia bawa. Sehingga saat darurat, saat banjir besar melanda, saat tidak akan ada orang yang selamat kecuali mereka yang dikehendakiNya, tidak mampu membuat hati anak luluh. Bahkan dengan sombongnya dia menolak tawaran ayahnya.

Maka sungguh jika Anda merasa berada di posisi itu. Bandingkan keadaan Anda dengan keadaan Nabi Nuh. Karena pasti keadaan Anda tak akan menyamai bahkan melebihi apa yang dirasakan Nabi Nuh.

Jangan kira Nabi Nuh tidak sedih. Suami mana yang tidak sedih tatkala istrinya tidak taat padanya? Ayah mana yang tidak menangis tatkala menyaksikan anaknya mati karena menolak tawarannya? Ayah mana yang tidak menangis melihat anaknya begitu membencinya?

Memiliki anak durhaka ternyata tidak terjadi pada Nabi Nuh saja. Lihatlah kembali kisah Nabi Ya'kub. Memiliki 14 anak dari dua istri. Dua belas anak dari istri pertama dan dua dari istri kedua. Ke empat belas anak ini memiliki ayah yang sama. Seorang nabi. Jelas akhlaknya. Jelas kebaikannya. Jelas kemuliaannya. Namun ada yang berbeda dari anak- anak Nabi Ya'kub.

Mau tahu? 😊 pertanyaan ini buat suasana jadi ndak serius 😄

Pasti sebagian besar kita sudah tahu. Dua belas anaknya dari istri pertama memiliki perangai buruk. Hal itu terbukti dari apa yang mereka lakukan pada Nabi Yusuf. Seharusnya jika ke dua belas anak nabi Ya'kub ini sudah tahu bahwa ayahnya seorang Nabi. Tidak mungkin mereka memiliki rasa iri itu. Karena tentu mereka tahu bagaimana akhlak seorang nabi. Namun ternyata mereka lebih cenderung pada keburukan dibandingkan kebaikan. Akhirnya mereka membuat tipu daya untuk ayah mereka sendiri.

Alhamdulillah Nabi Ya'kub masih memiliki anak yang sholeh. Yaitu yusuf dan Benyamin. Bahkan Yusuf diangkat menjadi nabi oleh Allah.

Disinilah ada salah satu resep suatu hal yang paling menentukan seorang anak berperangai baik atau buruk.

Lihatlah ke empat belas anak itu memiliki ayah yang sama. Yang jelas kebaikannya. Namun ternyata ke dua belas anak berperangai buruk sedang dua anak berperangai baik. Bisa kita lihat perbedaan anak-anak itu terletak pada SIAPA IBUNYA. Mereka memiliki ibu yang berbeda. Maka ibulah seseorang yang sangat menentukan kepribadian seorang anak. Sama seperti Kan'an yang durhaka pada Nabi Nuh, karena kita tahu ibunya juga durhaka pada Nabi Nuh.

Namun meski peran ibu sangat menentukan kepribadian anak. Tetap peran terbesar ada pada ayah. Peran ayah bukan tentang banyaknya waktu bersama Si Anak seperti ibu. Bukan.

Next Story...

Selasa, 02 April 2019

Uniqe Child

Setiap manusia memiliki kelebihan. Tentu. Namun yang perlu digarisbawahi adalah kelebihan itu pada bidang tertentu. Namun sayang di negara ini, kita cenderung dididik melawan fitrah, salah satunya menjadi manusia general. Kita dituntut menguasai semua mata pelajaran. Dituntut bisa ini dan itu, dengan sedikit sekali pemahaman bahwa itu belum tentu kita minati. Akibatnya banyak yang mengalami kegagalan narasi dalam menentukan jurusan baik ketika akan memasuki jenjang smk maupun kuliah.

Suatu ketika ada seorang anak laki-laki kecil, usianya sekitar 7 tahun. Sebut saja Sulaiman. Di usianya 7 tahun sekarang artikulasi anak ini masih kurang jelas, ada beberapa huruf yang tidak bisa diucapkannya dengan jelas, cara belajar anak ini juga cukup lama, serta hapalannya tidak secepat anak yang lain. Perlu kesabaran dan waktu untuk mengajarinya. Dia pun banyak dijaili oleh anak-anak lain karena mudahnya dia menangis, sebut saja cengeng. Namun dia adalah anak yang paling mudah diberi nasihat dibanding anak yang lain. Dia mudah meminta maaf ketika melakukan kesalahan, dia juga ringan tangan untuk bergotong royong bersama melakukan kebaikan.

Suatu hari anak-anak sedang menghapal doa harian. Duduk melingkari gurunya. Ketika giliran Sulaiman hapalan, dia tidak ada. Tak disangka ketika Sang Guru menoleh ke arah kanan, Sulaiman membersihkan meja-meja duduk yang berantakan akibat dipakai main teman-teman sekelasnya waktu istirahat. Sang Guru pun berkaca-kaca melihatnya. Bayangkan, semua teman-temannya sedang hapalan. Ada 3 halaqoh dalam satu ruangan yang cukup lebar dengan lebih dari 30 anak. Dia tanpa malu membersihkan meja dan menyapu lantai dengan inisiatifnya sendiri. Sang Guru pun terharu melihatnya. Dia tidak marah karena Sulaiman belum hapalan. Sama sekali tidak. Justru dia bangga. Karena dia tahu sesungguhnya tujuan dari sebuah pengetahuan adalah tindakan. Maka pengetahuan tanpa tindakan is nothing. Useless. Tidak lama setelah itu ada beberapa sekitar 3 teman yang membantunya.

Mudah menangis atau cengeng bukanlah tanda kelemahan dia. Jika mereka tahu. Justru itu adalah karunia yang mahal dari Allah. Itu adalah bahasa bakat. Itu tanda kelembutan hatinya. Itu tanda mudahnya dia tersentuh hatinya untuk membantu seseorang yang membutuhkannya. Itu tanda dia orang yang peka terhadap perasaan orang lain.

Lihatlah Umar bin Khattab, orang yang terkenal dengan ketegasannya, banyak yang tidak berani berhadapan dengan dia karena keberaniannya membela kebenaran. Namun tahukah kita? Sungguh dia salah seorang sahabat rasul yang sering menangis, apalagi ketika melihat rakyatnya menderita, apalagi ketika dia melihat masalalunya.

Maka airmata bukanlah sebuah kelemahan. Bisa jadi orang yang selalu terlihat ceria, kuat dan bersemangat di hadapan orang-orang di sekitarnya, justru dia adalah seseorang yang sering menangis di hadapan Tuhannya. Justru airmata itu menguatkannya, sebagai jembatan diturunkannya sakinah di hatinya. Justru airmata menandakan orang yang kuat hatinya karena sering mengingat kesalahan yang diperbuatnya sehingga dia enggan dan malu untuk mengulanginya. Masalalu tak perlu ditutupi dan dikubur dalam-dalam untuk dilupakan. Masalalu ada bukan untuk dilupakan. Melupakannya adalah sia-sia. Melupakannya bisa jadi membuat kita terlena. Cukuplah menjadi pengingat siapa kita dulu, dan bagaimana seharusnya kita sekarang. Cukuplah masalalu menjadi pengingat bahwa kita manusia, yang harus rendah hati, tidak menyombongkan diri karena kita juga pernah salah.

Semangat Sulaiman 😊
Tulisannya tak fokus 1 topik 😁
Tak apa-apa yang penting bahagia dan positif 😉