Hujan mengiringi
langkah-langkah kecil gadis remaja yang terjebak dalam gelap, hanya ada cahaya
purnama yang telah hilang dan tertutup kabut tebal serta kilat yang telah
datang diiringi petir yang mulai terdengar menemani langkahnya.Dingin pun
menjalari setiap lekuk badan yang mulai menggigil kedinginan, letih berjalan
mencari tempat untuk pulang.Air yang mengguyur terpaksa dia terjang, untuk
sampai di tempat tujuan. Dingin yang teramat sangat membuatnya tak mampu lagi
berlari, hanya langkah-langkah kecil untuk menyusuri trotoar Kota Denpasar.
Tanpa sadar air yang
menetes tiba-tiba berhenti menetesi tubuhnya, dengan segera dia membalikkan
badan, senyum pun terlihat dari seorang lelaki yang memakai kaos putih dan celana
selutut berwarna hitam, senyumnya mengusir dingin gadis remaja itu, memberikan
energi yang mulai merasuki jiwa gadis itu, sehingga membuatnya berdiri tegak
kembali.
"Kenapa
malam-malam keluar? hujan lagi?", Tanya Si Lelaki itu.
Mata Sisi berbinar-binar
saat dia menangkap secercah sinar dari bola mata lelaki di depannya, suaranya
begitu menyejukkan jiwa, menghangatkan setiap lekuk badan yang menggigil, tak
sedetik pun Sisi berkutik dari depan lelaki yang tak sengaja melewati jalan itu.Tangan
lelaki itu melambai-lambai di depan mata Sisi,
"Hai... Kamu
takut?" Lelaki itu heran pada Sisi yang hanya terpaku diam di depannya. Tanpa
basa basi lagi Geri meraih tangan Sisi, gadis aneh yang dia temui,"Ayo ku
antar kamu pulang! Dimana rumah kamu?"
Dengan sedikit berlari,
Senyum Sisi mengembang di sudut bibirnya. Tanpa sepatah katapun, Sisi hanya
menunjuk jalan menuju rumahnya. Angin berhembus semakin terasa kencang karena
langkah keduanya semakin cepat menyingkat waktu, payungpun lepas dari genggaman.Tak
sempat lagi keduanya mengambil payung yang semakin menjauhi mereka.Sisi masih
menatap sesosok penyelamat pengusir rasa takut yang menguasai perasaannya malam
itu.
"Masih jauhkah
rumah kamu?", Mereka berhenti di tepi jalan, Geri menatap Sisi dengan raut
wajah yang mulai kedinginan karena basah oleh air di seluruh tubuhnya, Sisi
hanya menggeleng-gelengkan kepala, dan menunjuk rumah di samping kirinnya tanpa
sedikit pun memalingkan wajahnya dari Geri.
"Ya sudah, cepat
masuk, lain kali, jangan keluar rumah malam-malam sendirian! da...", Geri
melambaikan tangan kanannya dengan berlari meninggalkan Sisi yang terpaku
membisu di depan gerbang rumahnya.Setelah beberapa menit memperhatikan langkah
Geri hingga tak terlihat dari pandangannya, Sisi pun menghadapkan badannya ke
kiri.
"Aduh…", Sisi
terjatuh dari tempat tidurnya setelah kepalanya membentur di depan gerbang
rumahnya di dalam mimpinya. Ternyata
hanya mimpi, hati sisi terasa tersiram semangat, mengingat seorang siswa lelaki baru yang
masuk ke sekolahnya seminggu yang lalu, hatinya bergetar saat pertama menatap
matanya. Membawa lelaki itu ke dalam dunia imajinasi merupakan kegemaran Sisi,
hampir setiap hari lelaki itu masuk dunia lain dari kehidupan Sisi.
Secarik kertas
dirobeknya dari buku Matematika , dengan senyum yang tak pernah berhenti
menghiasi bibir, siswi kelas tiga SMP itu menuangkan kata-kata bemajas dengan
rima dan sajak yang mencerminkan kelihaiannya dalam mengolah kata.
Dengan semangat pagi setiap
harinya, Sisi mengayuh sepedanya.Tak henti-hentinya Sisi membayangkan lelaki
itu, dengan berbagai macam situasi dan kondisi.Angin yang bergerak berlawanan
dengannya semakin membuat fikirannya tak ingin menghapus bayang-bayang siluet
lelaki itu dari imajinasinya.
Kini dia bertemu pujaan
hatinya di dalam kelas tiga IPS, secarik kertas buku Matematika pun menjadi
korban kegatelan tangannya untuk tidak menulis kata-kata indah yang terlintas
di benaknya.
“Anak-anak ayo
kumpulkan PR yang Ibu beri kemarin, tumpuk di atas meja!”, Bu Silvi guru matematika
memeriksa setiap PR dari murid-muridnya, Selalu
Begitu gumam Bu Silvi dalam hati, “Sisi…
Berdiri kamu! Setiap buku Matematika selalu sobek, pasti kamu gunakan menulis
puisi lagi, kesini kamu! Dan bawa sobekan kertasnya!”
Dengan wajah menunduk
malu, Sisi maju ke depan membawa sobekan kertas berisi puisi di tangan
kanannya,
“Baca puisinya
sekarang! ”
Seolah tersambar petir,
Sisi terkejut mendengar perkataan Bu Silvi, bagaimana mungkin dia membaca puisi
di depan Geri dan teman-teman sekelasnya, pasti akan ditertawakan. Sisi hanya
diam membisu dengan wajah merah padam.
“Ayo baca sekarang!
Oh.. Baiklah, Geri kamu ke depan, bacakan puisinya!”
Sisi tersentak dengan
kata-kata Bu Silvi, Bagaimana ini, dia
akan membacanya, mengapa harus dia? dengan senyum Geri mengambil secarik
kertas itu dari tangan Sisi.
Matahari
tlah berganti bulan, kau datang menghias malam
Mengusir
kesepian saat tubuhku bergetar sendirian di tepi jalan
Senyum
mu hilangkan rasa dingin yang menusuk tulang
Berlari,
berlari, dan terus berlari
Anginpun
menggila, membawa pergi pelindung hujan
Dan
airpun merasuk di setiap celah, hingga raga telah basah
Tiba
saat kita sampai di ujung penantian
Kau
berlari dan melambaikan tangan, tapak kakimu mulai hilang tersapu air hujan,
Dingin pun terasa menusuk tulang, seiring
tenggelamnya dirimu oleh gelap malam
For
G
Serentak satu kelas
menyoraki Sisi dan Geri, karena di kelas itu nama yang berawalan G hanyalah
Geri, Geri hanya tersenyum pada Sisi yang tetap tertunduk malu untuk
menunjukkan raut wajahnya yang merah.
Pelajaran Matematika
yang telah berakhir, tak membuat teman-teman Sisi berhenti membicarakannya,
bagaikan Burung kutilang yang berkicau tiada henti. Sisi duduk terdiam di taman
saat matahari mencapai puncak teriknya, tak bernafsu Sisi untuk makan siang,
terlebih lagi dia tak memiliki muka yang cukup tebal untuk pergi ke kantin
tanpa mendengar namanya dan Geri di setiap langkah kakinya menuju kantin. Dina
teman sekelas Sisi menghampirinya di taman dengan membawa sepotong roti untuknya.
“Kenapa kamu sangat
suka menulis, Si?, Di buku Matematika lagi, memangnya apa gunanya coba? Lebih
baik kamu memperbaiki nilai Matematika kamu yang masih di bawah KKM, dari pada
menulis sesuatu yang tidak berguna seperti itu”, Kata Dina dengan nada sinis.
Sisi hanya tersenyum
kecut mendengar kata Dina yang seolah ingin menghentikan apa yang dia
suka.Sekejap saja Sisi segera menggerakkan kakinya untuk berdiri "Aku
sudah berusaha untuk belajar Matematika, mungkin aku memang kurang keras dalam
belajar, dan aku akan lebih berusaha, tapi kamu tak bisa menghentikan aku untuk
berhenti menulis!", Segera Sisi melangkahkan kakinya untuk pergi dari
hadapan Dina.Dengan kepala yang tetap tertunduk di setiap langkahnya, Sisi tak
melihat jika ada seseorang yang sedang berjalan pula dengan arah yang
berlawanan dengannya dan mereka pun bertabrakan,
"Maaf, aku tidak
melihatmu,"Segera Sisi berdiri
"Makanya kalau
berjalan jangan menunduk saja,"
Jantung sisi berdegup
kencang, rasa gugup pun mulai merasukinya, Suara
ini Sisi memberanikan melihat wajah orang yang berada di hadapannya kini.Benar dia Geri secepat kilat Sisi
menundukkan pandangannya kembali.
"Ayo ikut aku
sebentar!", Tanpa meminta persetujuan, Geri memegang pergelangan tangan Sisi
dan mengajaknya menuju taman.
Seketika Sisi mengingat
mimpinya saat Geri menyelamatkannya dari rasa takut yang menghampirinya ketika
gelap gulita.Senyum pun menghiasi wajah Sisi.Mereka duduk di bawah pohon yang
rindang di taman sekolah.
"Baru pertama kali
aku menemui gadis aneh seperti kamu, mengapa harus selalu merobek buku Matematika?"
Sisi merasa tak mampu
mengeluarkan suaranya yang termakan oleh rasa gugupnya, dengan gagap Sisi
menjawab,"Ka…karena nilaiku selalu kurang di Matematika, aku lebih sering
berdekatan dengan buku Matematika untuk belajar.Maaf ya tentang kejadian di
dalam kelas tadi?"
Geri mengerti apa yang
dirasakan Sisi saat ini, "Kamu pasti malu ya? Mungkin setelah ini kita
akan sering bersama-sama, karena aku di suruh Bu Silvi untuk mengajarimu Matematika,
dan kamu harus mau.", Nilai matematika Geri memang selalu baik di antara
teman-teman sekelasnya baik di sekolah yang lama maupun yang sekarang. Buktinya
Geri mendapat nilai sempurna saat ulangan pertama Matematika dari Bu Silvi.Geri
tersenyum pada Sisi saat Sisi meliriknya, lalu Geri berdiri dan pergi.
"Sampai jumpa di
istirahat sekolah besok, disini ya!"Geri melambaikan tangannya sambil
berlari meninggalkan Sisi.
Hati Sisi tak karuan
bahagia, seketika dia mengingat mimpinya saat Geri melambaikan tangannya di
bawah guyuran hujan malam itu, Sisi pun melompat kegirangan dan berteriak
seolah dunia ini telah menjadi miliknya.
Kini setiap hari di
saat jam istirahat, Geri dan Sisi selalu berada di Taman untuk belajar
Matematika.Suatu hari saat mereka berdua belajar di taman dengan ditemani
kesejukan hembusan angin dan rindangnya pohon Geri melirik sebuah kertas di
atas Buku Paket Matematika milik Sisi.Rasa penasaran Geri membuat tangannya
bergerak untuk mengambil secarik kertas itu,”Lima Pintu Satu Langkah?”
Sisi yang masih
mengerjakan soal yang diberikan Geri langsung menatap dengan wajah kaget
mendengar kata Geri yang merupakan judul untuk cerita yang akan dibuat Sisi.
Geri membaca sepenggal
dari cerita yang belum usai itu,”Indah sekali kata-katamu, puisimu yang waktu
itu juga bagus, kamu memang bakat mengolah kata-kata.Jangan sia-siakan
bakatmu,”.
Kata-kata Geri merasuk
dalam hati Sisi yang terdalam dan menjadi sebuah rangkaian semangat untuk Sisi
agar tetap menulis dan menulis.Senyum tersungging di bibir Sisi menatap mata
Geri, Kau adalah inspirasiku untuk
menulis, bisik Sisi dalam hati.
Sisi terus mengasah
kemampuan mengolah kata-katanya baik dalam puisi maupun cerita tapi tak lagi di
buku Matematika, karena Sisi telah membuat buku khusus untuk menulis. Sisi
semakin terpacu untuk belajar matematika agar Geri tidak merasa sia-sia
mengajarinya selama ini.
***
Hari pembuktian pun
tiba, Ujian Nasional di depan mata.Pelajaran yang selama ini menjadi momok Sisi
di kelas, akan dihajar dan dilawan Sisi dengan penuh ketelitian dan
ketenangan.Geri berbisik pada Sisi sebelum masuk kelas,”Jangan gugup, kamu
sudah belajar, kamu pasti bisa.”, Geri menepuk-nepuk bahu Sisi untuk
menyemangatinya.
***
Setelah pengumuman
kelulusan Sisi tak pernah bertemu Geri lagi, karena Geri sudah pindah ke
Jakarta.Kata-kata Geri yang selalu melekat di hatinya adalah saat dia
mengatakan, “Tidak sia-sia aku mengajarimu, nilai 90 mu itu setara kan dengan
puisi karyamu di kertas Matematika ini?”, Geri menukar nilai 90 pelajaran Matematika
Sisi dengan puisi yang dibuat Sisi,”Suatu saat aku ingin membaca hasil karyamu di
sebuah buku.”,Kata-kata itu seolah menjadi cambuk kekuatan Sisi untuk masuk
lebih dalam di dunia sastra, Dan suatu
hari aku akan membacakan karyaku yang telah menjadi sebuah buku dihadapanmu, bisik
Sisi dalam hati saat dia menerawang jauh langit malam di dekat jendela
kamarnya.
Oriflame Cosmetics