Jumat, 16 Mei 2014

Cinta, Matematika, dan Cita-Cita

Hujan mengiringi langkah-langkah kecil gadis remaja yang terjebak dalam gelap, hanya ada cahaya purnama yang telah hilang dan tertutup kabut tebal serta kilat yang telah datang diiringi petir yang mulai terdengar menemani langkahnya.Dingin pun menjalari setiap lekuk badan yang mulai menggigil kedinginan, letih berjalan mencari tempat untuk pulang.Air yang mengguyur terpaksa dia terjang, untuk sampai di tempat tujuan. Dingin yang teramat sangat membuatnya tak mampu lagi berlari, hanya langkah-langkah kecil untuk menyusuri trotoar Kota Denpasar.

Tanpa sadar air yang menetes tiba-tiba berhenti menetesi tubuhnya, dengan segera dia membalikkan badan, senyum pun terlihat dari seorang lelaki yang memakai kaos putih dan celana selutut berwarna hitam, senyumnya mengusir dingin gadis remaja itu, memberikan energi yang mulai merasuki jiwa gadis itu, sehingga membuatnya berdiri tegak kembali.

"Kenapa malam-malam keluar? hujan lagi?", Tanya Si Lelaki itu.

Mata Sisi berbinar-binar saat dia menangkap secercah sinar dari bola mata lelaki di depannya, suaranya begitu menyejukkan jiwa, menghangatkan setiap lekuk badan yang menggigil, tak sedetik pun Sisi berkutik dari depan lelaki yang tak sengaja melewati jalan itu.Tangan lelaki itu melambai-lambai di depan mata Sisi,

"Hai... Kamu takut?" Lelaki itu heran pada Sisi yang hanya terpaku diam di depannya. Tanpa basa basi lagi Geri meraih tangan Sisi, gadis aneh yang dia temui,"Ayo ku antar kamu pulang! Dimana rumah kamu?"

Dengan sedikit berlari, Senyum Sisi mengembang di sudut bibirnya. Tanpa sepatah katapun, Sisi hanya menunjuk jalan menuju rumahnya. Angin berhembus semakin terasa kencang karena langkah keduanya semakin cepat menyingkat waktu, payungpun lepas dari genggaman.Tak sempat lagi keduanya mengambil payung yang semakin menjauhi mereka.Sisi masih menatap sesosok penyelamat pengusir rasa takut yang menguasai perasaannya malam itu.

"Masih jauhkah rumah kamu?", Mereka berhenti di tepi jalan, Geri menatap Sisi dengan raut wajah yang mulai kedinginan karena basah oleh air di seluruh tubuhnya, Sisi hanya menggeleng-gelengkan kepala, dan menunjuk rumah di samping kirinnya tanpa sedikit pun memalingkan wajahnya dari Geri.

"Ya sudah, cepat masuk, lain kali, jangan keluar rumah malam-malam sendirian! da...", Geri melambaikan tangan kanannya dengan berlari meninggalkan Sisi yang terpaku membisu di depan gerbang rumahnya.Setelah beberapa menit memperhatikan langkah Geri hingga tak terlihat dari pandangannya, Sisi pun menghadapkan badannya ke kiri.

"Aduh…", Sisi terjatuh dari tempat tidurnya setelah kepalanya membentur di depan gerbang rumahnya di dalam mimpinya. Ternyata hanya mimpi, hati sisi terasa tersiram semangat,  mengingat seorang siswa lelaki baru yang masuk ke sekolahnya seminggu yang lalu, hatinya bergetar saat pertama menatap matanya. Membawa lelaki itu ke dalam dunia imajinasi merupakan kegemaran Sisi, hampir setiap hari lelaki itu masuk dunia lain dari kehidupan Sisi.

Secarik kertas dirobeknya dari buku Matematika , dengan senyum yang tak pernah berhenti menghiasi bibir, siswi kelas tiga SMP itu menuangkan kata-kata bemajas dengan rima dan sajak yang mencerminkan kelihaiannya dalam mengolah kata.

Dengan semangat pagi setiap harinya, Sisi mengayuh sepedanya.Tak henti-hentinya Sisi membayangkan lelaki itu, dengan berbagai macam situasi dan kondisi.Angin yang bergerak berlawanan dengannya semakin membuat fikirannya tak ingin menghapus bayang-bayang siluet lelaki itu dari imajinasinya.

Kini dia bertemu pujaan hatinya di dalam kelas tiga IPS, secarik kertas buku Matematika pun menjadi korban kegatelan tangannya untuk tidak menulis kata-kata indah yang terlintas di benaknya.
“Anak-anak ayo kumpulkan PR yang Ibu beri kemarin, tumpuk di atas meja!”, Bu Silvi guru matematika memeriksa setiap PR dari murid-muridnya, Selalu Begitu gumam Bu Silvi dalam hati, “Sisi… Berdiri kamu! Setiap buku Matematika selalu sobek, pasti kamu gunakan menulis puisi lagi, kesini kamu! Dan bawa sobekan kertasnya!”

Dengan wajah menunduk malu, Sisi maju ke depan membawa sobekan kertas berisi puisi di tangan kanannya,
“Baca puisinya sekarang! ”
Seolah tersambar petir, Sisi terkejut mendengar perkataan Bu Silvi, bagaimana mungkin dia membaca puisi di depan Geri dan teman-teman sekelasnya, pasti akan ditertawakan. Sisi hanya diam membisu dengan wajah merah padam.
“Ayo baca sekarang! Oh.. Baiklah, Geri kamu ke depan, bacakan puisinya!”
Sisi tersentak dengan kata-kata Bu Silvi, Bagaimana ini, dia akan membacanya, mengapa harus dia? dengan senyum Geri mengambil secarik kertas itu dari tangan Sisi.

Matahari tlah berganti bulan, kau datang menghias malam
Mengusir kesepian saat tubuhku bergetar sendirian di tepi jalan
Senyum mu hilangkan rasa dingin yang menusuk tulang
Berlari, berlari, dan terus berlari
Anginpun menggila, membawa pergi pelindung hujan
Dan airpun merasuk di setiap celah, hingga raga telah basah
Tiba saat kita sampai di ujung penantian
Kau berlari dan melambaikan tangan, tapak kakimu mulai hilang tersapu air hujan,
 Dingin pun terasa menusuk tulang, seiring tenggelamnya dirimu oleh gelap malam
For G

Serentak satu kelas menyoraki Sisi dan Geri, karena di kelas itu nama yang berawalan G hanyalah Geri, Geri hanya tersenyum pada Sisi yang tetap tertunduk malu untuk menunjukkan raut wajahnya yang merah.

Pelajaran Matematika yang telah berakhir, tak membuat teman-teman Sisi berhenti membicarakannya, bagaikan Burung kutilang yang berkicau tiada henti. Sisi duduk terdiam di taman saat matahari mencapai puncak teriknya, tak bernafsu Sisi untuk makan siang, terlebih lagi dia tak memiliki muka yang cukup tebal untuk pergi ke kantin tanpa mendengar namanya dan Geri di setiap langkah kakinya menuju kantin. Dina teman sekelas Sisi menghampirinya di taman dengan membawa sepotong roti untuknya.

“Kenapa kamu sangat suka menulis, Si?, Di buku Matematika lagi, memangnya apa gunanya coba? Lebih baik kamu memperbaiki nilai Matematika kamu yang masih di bawah KKM, dari pada menulis sesuatu yang tidak berguna seperti itu”, Kata Dina dengan nada sinis.

Sisi hanya tersenyum kecut mendengar kata Dina yang seolah ingin menghentikan apa yang dia suka.Sekejap saja Sisi segera menggerakkan kakinya untuk berdiri "Aku sudah berusaha untuk belajar Matematika, mungkin aku memang kurang keras dalam belajar, dan aku akan lebih berusaha, tapi kamu tak bisa menghentikan aku untuk berhenti menulis!", Segera Sisi melangkahkan kakinya untuk pergi dari hadapan Dina.Dengan kepala yang tetap tertunduk di setiap langkahnya, Sisi tak melihat jika ada seseorang yang sedang berjalan pula dengan arah yang berlawanan dengannya dan mereka pun bertabrakan,
"Maaf, aku tidak melihatmu,"Segera Sisi berdiri
"Makanya kalau berjalan jangan menunduk saja,"
Jantung sisi berdegup kencang, rasa gugup pun mulai merasukinya, Suara ini Sisi memberanikan melihat wajah orang yang berada di hadapannya kini.Benar dia Geri secepat kilat Sisi menundukkan pandangannya kembali.
"Ayo ikut aku sebentar!", Tanpa meminta persetujuan, Geri memegang pergelangan tangan Sisi dan mengajaknya menuju taman.
Seketika Sisi mengingat mimpinya saat Geri menyelamatkannya dari rasa takut yang menghampirinya ketika gelap gulita.Senyum pun menghiasi wajah Sisi.Mereka duduk di bawah pohon yang rindang di taman sekolah.
"Baru pertama kali aku menemui gadis aneh seperti kamu, mengapa harus selalu merobek buku Matematika?"
Sisi merasa tak mampu mengeluarkan suaranya yang termakan oleh rasa gugupnya, dengan gagap Sisi menjawab,"Ka…karena nilaiku selalu kurang di Matematika, aku lebih sering berdekatan dengan buku Matematika untuk belajar.Maaf ya tentang kejadian di dalam kelas tadi?"
Geri mengerti apa yang dirasakan Sisi saat ini, "Kamu pasti malu ya? Mungkin setelah ini kita akan sering bersama-sama, karena aku di suruh Bu Silvi untuk mengajarimu Matematika, dan kamu harus mau.", Nilai matematika Geri memang selalu baik di antara teman-teman sekelasnya baik di sekolah yang lama maupun yang sekarang. Buktinya Geri mendapat nilai sempurna saat ulangan pertama Matematika dari Bu Silvi.Geri tersenyum pada Sisi saat Sisi meliriknya, lalu Geri berdiri dan pergi.
"Sampai jumpa di istirahat sekolah besok, disini ya!"Geri melambaikan tangannya sambil berlari meninggalkan Sisi.
Hati Sisi tak karuan bahagia, seketika dia mengingat mimpinya saat Geri melambaikan tangannya di bawah guyuran hujan malam itu, Sisi pun melompat kegirangan dan berteriak seolah dunia ini telah menjadi miliknya.
Kini setiap hari di saat jam istirahat, Geri dan Sisi selalu berada di Taman untuk belajar Matematika.Suatu hari saat mereka berdua belajar di taman dengan ditemani kesejukan hembusan angin dan rindangnya pohon Geri melirik sebuah kertas di atas Buku Paket Matematika milik Sisi.Rasa penasaran Geri membuat tangannya bergerak untuk mengambil secarik kertas itu,”Lima Pintu Satu Langkah?”
Sisi yang masih mengerjakan soal yang diberikan Geri langsung menatap dengan wajah kaget mendengar kata Geri yang merupakan judul untuk cerita yang akan dibuat Sisi.
Geri membaca sepenggal dari cerita yang belum usai itu,”Indah sekali kata-katamu, puisimu yang waktu itu juga bagus, kamu memang bakat mengolah kata-kata.Jangan sia-siakan bakatmu,”.
Kata-kata Geri merasuk dalam hati Sisi yang terdalam dan menjadi sebuah rangkaian semangat untuk Sisi agar tetap menulis dan menulis.Senyum tersungging di bibir Sisi menatap mata Geri, Kau adalah inspirasiku untuk menulis, bisik Sisi dalam hati.
Sisi terus mengasah kemampuan mengolah kata-katanya baik dalam puisi maupun cerita tapi tak lagi di buku Matematika, karena Sisi telah membuat buku khusus untuk menulis. Sisi semakin terpacu untuk belajar matematika agar Geri tidak merasa sia-sia mengajarinya selama ini.
***
Hari pembuktian pun tiba, Ujian Nasional di depan mata.Pelajaran yang selama ini menjadi momok Sisi di kelas, akan dihajar dan dilawan Sisi dengan penuh ketelitian dan ketenangan.Geri berbisik pada Sisi sebelum masuk kelas,”Jangan gugup, kamu sudah belajar, kamu pasti bisa.”, Geri menepuk-nepuk bahu Sisi untuk menyemangatinya.
***
Setelah pengumuman kelulusan Sisi tak pernah bertemu Geri lagi, karena Geri sudah pindah ke Jakarta.Kata-kata Geri yang selalu melekat di hatinya adalah saat dia mengatakan, “Tidak sia-sia aku mengajarimu, nilai 90 mu itu setara kan dengan puisi karyamu di kertas Matematika ini?”, Geri menukar nilai 90 pelajaran Matematika Sisi dengan puisi yang dibuat Sisi,”Suatu saat aku ingin membaca hasil karyamu di sebuah buku.”,Kata-kata itu seolah menjadi cambuk kekuatan Sisi untuk masuk lebih dalam di dunia sastra, Dan suatu hari aku akan membacakan karyaku yang telah menjadi sebuah buku dihadapanmu, bisik Sisi dalam hati saat dia menerawang jauh langit malam di dekat jendela kamarnya.

Oriflame Cosmetics


Oriflame Cosmetics

Tidak ada komentar:

Posting Komentar