Muqaddimah 🤭 Cerita yang dulu aku di kirim ke Majalah Komunikasi UM, tapi lupa dengan tanggal pengumuman 😅 tahu-tahu di upload sama orang 🤭.
http://berkaryaayo.blogspot.com/2016/03/siluet.html?m=1
Malam begitu sunyi. Udara dingin masuk melalui celah-celah tembok yang berbahan bambu, ditambah bau menyengat yang sepertinya sudah memenuhi kamarku, membuatku terjaga. Entah siapa yang masih bermain-main larut malam seperti ini. Aku pun tak tahu permainan macam apa itu. Hal ini selalu terjadi setiap kali menjelang malam jumat. Mungkin karena mitos tentang malam jumat yang katanya, pada malam jumat itu banyak setan yang berkeliaran. Namun aku tak mengerti apa tujuannya, untuk melindungi diri, mencelakai orang lain atau justru untuk memanggil setan-setan itu. Yang jelas bagiku, itu sangat tidak masuk akal dan sangat mengganggu tidur nyenyakku.
Semenjak ibu tiada, aku berusaha untuk beradaptasi dengan keadaan ini sendiri. Dulu aku selalu merengek sampai ibu datang ke kamarku dan menenangkanku. Namun tidak mungkin lagi aku merengek pada ayah, karena aku tahu, ayah pasti lelah setelah bekerja di sawah seharian.
*
Fajar mulai menghilang, suara kokok ayam pun sudah tak terdengar. Seorang gadis berkerudung putih mencari-cari sesuatu dekat pohon beringin di belakang rumahnya yang berjarak tak sampai 10 meter itu. Ternyata ini yang menyebabkan bau menyengat itu. Dia membawa sebuah tungku utuh yang di atasnya terdapat sesuatu yang sudah menjadi arang. Dia berlari mencari ayahnya. “Ayah apa ini?”
Ayah gadis itu masih sibuk menyiapkan makanan di dapur. Seketika itu dia duduk jongkok di depan gadis itu. “iki menyan lan dupa jenenge,”1 ayah membelai rambut anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang.
“Siapa ya Ayah, yang malam-malam bermain ini di bawah pohon? Baunya sangat tidak enak.” Gadis itu berjalan berbelok arah sambil menggerutu. Raut wajahnya terlihat sekali jika dia sangat tidak menyukai benda itu. Ayah hanya tersenyum melihat tingkah anaknya yang sangat lugu itu. Dan menganggapnya hanya sebuah gurauan.
*
Hari ini malam jumat, aku akan menemukan siapa pengganggu tidurku. Aku sudah bersiap dengan sebuah sapu di tangan. Aku tajamkan penglihatanku di balik jendela yang sengaja tidak aku tutup rapat. Aku pastikan dia akan tertangkap olehku dan ayahku akan mengadilinya, huh. Kakiku mulai kesemutan berdiri sedari tadi. Namun dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali.
Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki semakin mendekat. Aku lebih memfokuskan diri. Aku perhatikan dengan seksama wajahnya yang terbalut kegelapan. Hanya remang cahaya lampu lima watt di belakang rumah yang membantuku mempertajam penglihatanku. Aku mengucek mataku. Aku coba melihatnya dengan saksama lagi. Ternyata. “Sadam!” Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar, seraya berteriak memanggil anak Ibu Hartini tetangga sebelah rumah.
“Ternyata kamu yang main-main kayak gituan malam-malam? Awas ya kalau kamu tidak berhenti, aku akan mengadukanmu pada Ayah.” Sepertinya Sadam pura-pura tidak mendengarku atau tidak mengerti maksudku, muka tololnya terlihat jelas olehku. Namun aku tak peduli, seketika itu tanpa menunggu jawabannya, aku menutup jendela.
Langkah kakiku kian cepat. Kuhampiri Sadam yang kerap kali jahil kepadaku. “Untuk apa kamu main-main dengan itu?” Kupukul pundak kirinya sehingga dia berbalik arah.
“Ini bukan main-main tahu. Ini bisa untuk melancarkan rezeki,” Sadam berdiri di hadapanku dengan membawa tungku yang mirip dengan genting yang aku bawa kemarin.
“Yang Maha Pemberi Rezeki itu hanya Allah, bukan pohon, dupa, apalagi menyan. Awas ya aku adukan kamu ke ayah. Agar kamu diberitahu bahwa ini namanya musyrik.”
“Ha?” Tanpa pikir panjang lagi aku kembali ke tempat peraduanku. Besok kamu pasti menyesal.
Esoknya, sebelum ayah berangkat ke sawah, aku sudah mengadukan perbuatan Sadam. Sambil tersenyum ayah menjawab, “Masa...” Ayah mulai menggodaku dengan nada bicaranya yang tidak seperti biasanya. “Mungkin dia sedang bermain suatu permainan yang menarik.”
Bermain kok rutin setiap malam jumat, “Kata guru ngajiku itu kan dilarang agama, Ayah. Ibu dulu juga bilang bahwa itu musyrik.” Ayah tidak menjawab pertanyaanku. Dia segera mengambil bekal di meja dapur dan berangkat tanpa mengucapkan apapun, hanya senyum yang menggantung di bibirnya. Senyum yang tidak bahagia.
*
Sunyi. Malam mulai larut, namun aku tetap terjaga. Hari ini malam jumat, aku tidak tahu apakah ayah telah menegur Sadam atau tidak, aku masih belum mencium bau yang sangat aku benci itu. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak tenang. Aku tarik selimut tipisku dan mencoba memejamkan mata. Berharap Allah memberikan nikmat tidur padaku. Aku harap bau tidak sedap itu enyah untuk malam ini dan seterusnya.
Pintu mimpi masih tertutup untukku. Tiba-tiba telingaku menangkap suara langkah kaki. Pasti Sadam. Darahku terasa naik seluruhnya ke kepala. Aku mengambil kelereng dan ketapel yang menggantung di tembok bambu tepat di sebelah jendela. Akan aku pastikan kelereng ini melesat tepat di kepala Sadam. Meski aku seorang perempuan, ayah pernah mengajariku memakai ketapel untuk bermain. Sekarang sudah jarang aku menggunakannya.
Perlahan dan dengan sangat hati-hati aku buka jendela kamarku. Aku siapkan tiga kelereng. Kelereng pertama sudah siap untuk aku arahkan pada sasaran. Aku tarik tali ketapel itu sekuat tenaga tepat di depan wajahku, aku pejamkan salah satu mataku untuk memastikan kelereng ini tepat sasaran. Perlahan aku arahkan ketapel itu pada... Ayah. Seketika itu kelereng itu melesat tidak tentu arah. Benarkah itu Ayah?
Kulihat ayah berkomat-kamit sambil memejamkan matanya. Sepertinya kelereng itu menabrak benda yang keras. Suarnya membuat ayah berhenti. Ia memandangku yang sedang berdiri tegap dan berkaca-kaca. Aku tak percaya. Aku seolah melihat bayangan ibu menangis meronta-ronta. Tak terasa air mata telah jatuh dan mendarat di pipiku. Ayah melanjutkan ritualnya, ia tak menghiraukanku. Seketika itu aku tutup jendela kayu itu rapat-rapat.
*
Hembusan angin fajar menerbangkan kerudung gadis itu. Dia ingat waktu pertama kali ibunya memakaikan kerudung itu. “Jangan pernah melepaskannya,” Itu adalah pesan ibunya dahulu. Namun sungguh sangat miris, dua hari setelah itu, ibunya meninggalkannya untuk selamanya karena suatu penyakit yang tidak diketahui apa namanya, orang-orang mengatakan bahwa ibunya disantet2. Dia duduk di tepi sawah yang menghadap hamparan tanaman padi yang sebenarnya berwarna hijau. Namun matahari belum datang untuk memperjelasnya, kini padi itu masih terlihat berwarna hitam. Ibu, apa Ibu tahu perbuatan Ayah? Hatinya bergejolak dalam sepi. Dia hanya menatap kekosongan. Aku harus menerimanya kah, Ayah? Dia memperhatikan sekelilingnya. Pohon kelapa itu. Hitam. Namun tetap saja itu adalah pohon kelapa. Sama sepertiku melihat ayah. Aku melihatmu dalam bayang siluet. Bagaimanapun perilaku dan keadaanmu, engkau tetap Ayahku. Tangisnya meledak. Ya dia tetap Ayahku.
*
Maafkan Ayah. Seorang lelaki paruh baya berdiri dari kejauhan. Ayah telah mengecewakanmu. Namun itu aku lakukan untukmu. Lelaki itu pun tak berkutik dari tempatnya. Cukup ibumu saja yang pergi. Suatu hari kau akan mengerti. Tentang semua sandiwara ini. Sandiwara untuk melindungimu dari mereka.
*
1. Ini menyan dan dupa namanya
2. Sejenis ilmu sihir dalam kepercayaan orang Jawa
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (salah ini jurusannya 😅)
Universitas Negeri Malang
Penulis: Wiki Dwi Ningrum