Sepertinya kisah ini bisa menjadi jembatan untuk kita bersyukur dan berhati-hati dalam perjalanan hidup ini.
Sebut saja namanya Sinta. Anak kecil yang masih berusia sekitar 4-5 tahun. Ibunya ada di Jakarta untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sinta sendiri tinggal bersama bibinya di Sreseh. Dulu dia lahir tanpa ada ayah disisinya. Ayahnya meninggalkan ibunya karena tidak terima ada dia di rahim ibunya. Aku lupa persisnya apakah ayahnya sudah menikahi ibunya ketika ada Sinta atau belum.
Sinta tidak tahu bagaimana wajah ayahnya.
Suatu ketika langit mendung dan angin begitu kencang meniup dari arah laut. Anak-anak dipulangkan lebih awal. Sinta dan satu anak laki-laki saja yang belum dijemput. Aku duduk di depan Sinta sambil bercanda. Tiba-tiba hening sekejap. Tak lama berselang dengan senyum di bibirnya Sinta berkata, "Tidak ada ayah Sinta di rumah".
Bergetar ketika mendengarnya. Mengapa tiba-tiba dia berkata seperti itu? Entahlah apa yang ada di benak anak kecil ini.
"Dimana ayah Sinta?" Aku mencoba bertanya untuk mengetahui seberapa jauh logikanya.
"Sinta ndak tahu, di rumah tidak ada. Tidak tahu dimana"
Mungkin inilah awal Sinta harus menerima keadaan. Terlepas dari pengertian tentang ayah yang ada di benaknya. Bagaimanapun ayahnya memang telah pergi dan dia tidak tahu dimana. Cepat atau lambat, meski ia mencari dan bingung, pada akhirnya dia harus menerima kenyataan bahwa ayahnya entah dimana.
Sepahit apapun kenyataannya. Itulah yang harus diterima. Sinta mungkin terlahir dari sebuah kesalahan. Entah siapa yang salah menurut versi masing-masing, yang jelas semua sudah terjadi. Pena telah mengering. Tiada hal yang lebih berarti selain memberinya pengertian terbaik, pemahaman yang berarti agar ada sebuah keikhlasan atas apa yang terjadi.
Kadang hidup ini keras dan kejam pada sebagian orang untuk menguji kesabarannya. Terkadang hidup begitu baik dan sangat baik kepada sebagian orang pula untuk menguji seberapa kita bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar